Bunda Maria dalam Injil
Bagian Kedua ( Terakhir )
Disampaikan di Katedral St. Chad, 1848
Sekarang, suatu pertanyaan lebih lanjut muncul, yang mungkin patut kita renungkan. Mungkin orang bertanya, mengapa Kristus tampaknya meremehkan kehormatan dan hak istimewa Bunda-Nya? Ketika perempuan itu mengatakan, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau”, dst. Ia sesungguhnya menjawab, “Ya.” Tetapi, Ia mengatakan, “Yang berbahagia ialah …” Dan dalam suatu peristiwa lain, Ia menjawab ketika orang memberitahukan kepada-Nya bahwa ibu-Nya dan saudara-saudaranya berusaha menemui Dia, “Siapa ibu-Ku?” dst. Dan di masa yang lebih awal, ketika Ia mengadakan mukjizat-Nya yang pertama di mana Bunda-Nya mengatakan kepada-Nya bahwa para tamu dalam perjamuan nikah kekurangan anggur, Ia mengatakan: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, perempuan? Saat-Ku belum tiba.” Ayat-ayat ini sepertinya merupakan perkataan yang dingin terhadap Bunda Perawan, meskipun maknanya dapat dijelaskan secara memuaskan. Jika demikian, apa maknanya? Mengapa Ia berbicara demikian?
Sekarang saya akan memaparkan dua alasan sebagai penjelasan:
Pertama, yang segera muncul dari apa yang saya katakan adalah ini: bahwa selama berabad-abad para wanita Yahudi masing-masing mengharapkan untuk menjadi ibunda sang Kristus yang dinantikan, dan tampaknya mereka tidak menghubungkannya dengan kekudusan yang lebih tinggi. Sebab itu, mereka begitu merindukan pernikahan; sebab itu pernikahan dianggap sebagai suatu kehormatan yang istimewa oleh mereka. Sekarang, pernikahan merupakan suatu penetapan Tuhan, dan Kristus menjadikannya suatu sakramen – namun demikian, ada sesuatu yang lebih tinggi, dan orang Yahudi tidak memahaminya. Seluruh gagasan mereka adalah menghubungkan agama dengan kesenangan-kesenangan dunia ini. Mereka tidak tahu, sesungguhnya, apa itu merelakan dunia ini demi yang akan datang. Mereka tidak mengerti bahwa kemiskinan lebih baik dari kekayaan, nama buruk daripada kehormatan, puasa dan matiraga daripada pesta-pora, dan keperawanan daripada perkawinan. Dan karenanya, ketika perempuan dari antara orang banyak itu berseru mengenai kebahagiaan rahim yang telah mengandung dan susu yang telah menyusui-Nya, Ia mengajarkan kepada perempuan itu dan kepada semua yang mendengarkan-Nya bahwa jiwa lebih berharga daripada raga, dan bahwa bersatu dengan-Nya dalam Roh, lebih berharga daripada bersatu dengan-Nya dalam daging.
Itu satu alasan. Alasan yang lain lebih menarik. Kalian tahu bahwa Juruselamat kita selama tigapuluh tahun pertama hidup-Nya di dunia tinggal di bawah satu atap dengan Bunda-Nya. Ketika Ia kembali dari Yerusalem pada usia duabelas tahun dengan Bunda-Nya dan St Yosef, dengan jelas dikatakan dalam Injil bahwa Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Pernyataan ini merupakan pernyataan tegas, tetapi asuhan ini, yang adalah kehidupan keluarga yang lazim, tidak untuk selamanya. Bahkan dalam peristiwa di mana penginjil mengatakan bahwa Ia hidup dalam asuhan mereka, Ia telah mengatakan dan melakukan hal yang dengan tegas menyampaikan kepada mereka bahwa Ia mempunyai tugas kewajiban yang lain. Sebab Ia meninggalkan mereka dan tinggal di Bait Allah di antara para alim ulama, dan ketika mereka menunjukkan ketercengangan mereka, Ia menjawab, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Ini, menurutku, merupakan suatu antisipasi akan masa pewartaan-Nya, saat ketika Ia harus meninggalkan rumah-Nya. Selama tigapuluh tahun Ia tinggal di sana, tetapi sementara Ia dengan tekun menjalankan tugas kewajiban-Nya dalam rumah tangga yang menjadi tanggung-jawab-Nya, Ia begitu merindukan karya Bapa-Nya, saat ketika tibalah waktu bagi-Nya untuk melaksanakan kehendak Bapa. Ketika saat perutusan-Nya tiba, Ia meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, dan meskipun Ia sangat mengasihinya, Ia tak mengindahkannya.
Dalam Perjanjian Lama, kaum Lewi dipuji karena mereka tidak kenal lagi ayah ataupun ibu mereka ketika tugas dari Tuhan memanggil. Tentang mereka dikatakan sebagai “berkata tentang ayahnya dan tentang ibunya: aku tidak mengindahkan mereka; ia yang tidak mau kenal saudara-saudaranya dan acuh tak acuh terhadap anak-anaknya” (Ulangan 33). Jika demikian perilaku kaum imam di bawah Hukum, betapa terlebih lagi yang dituntut dari Imam agung sejati dari Perjanjian Baru guna memberikan teladan keutamaan tersebut yang didapati serta diganjari dalam diri kaum Lewi. Ia Sendiri juga telah mengatakan: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Dan Ia mengatakan kepada kita bahwa “setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19). Oleh sebab itu, Ia yang menetapkan perintah haruslah memberikan teladan dan seperti telah dikatakan-Nya kepada para pengikut-Nya untuk meninggalkan segala sesuatu yang mereka miliki demi Kerajaan Allah, Diri-Nya Sendiri harus melakukan segala yang Ia dapat, meninggalkan segala yang Ia miliki, meninggalkan rumah-Nya dan Bunda-Nya, ketika tiba saatnya Ia harus mewartakan Injil.
Sebab itu, sejak saat awal pewartaan-Nya, Ia meninggalkan Bunda-Nya. Pada saat Ia melakukan mukjizat-Nya yang pertama, Ia menyatakannya. Ia melakukan mukjizat atas permintaan Bunda-Nya, tetapi secara tak langsung atau lebih tepat menyatakan, bahwa saat itulah Ia mulai memisahkan Diri darinya. Kata Yesus, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, perempuan?” dan lagi, “Saat-Ku belum tiba”; yakni “akan tiba waktunya di mana Aku akan mengenalimu kembali, oh BundaKu. Akan tiba waktunya ketika engkau dengan sepantasnya dan dalam kuasa akan dipersatukan dengan-Ku. Akan tiba waktunya ketika atas permintaanmu, Aku akan melakukan mukjizat-mukjizat; akan tiba waktunya, tetapi bukan sekarang. Dan hingga tiba waktunya, Mau apakah engkau dari pada-Ku? Aku tidak mengenalmu. Untuk sementara waktu Aku telah melupakan engkau.”
Sejak saat itu, kita tidak mendapati catatan mengenai perjumpaan-Nya dengan Bunda-Nya hingga Ia melihatnya di bawah salib. Ia berpisah dengannya. Satu kali Bunda-Nya berusaha menemui-Nya. Dikisahkan bahwa Ia tidak sendirian. Murid-murid ada di sekeliling-Nya. Bunda Maria tampaknya kurang suka ditinggalkan sendiri. Ia juga pergi mendapatkan-Nya. Pesan disampaikan kepada-Nya bahwa ibunda dan saudara-saudara-Nya berusaha menemui-Nya, tetapi tidak dapat mencapai-Nya karena orang banyak. Kemudian Ia mengatakan perkataan yang serius ini, “Siapakah ibu-Ku?” dst, artinya, seperti tampaknya, Ia telah meninggalkan segalanya demi melayani Tuhan, dan bahwa seperti Ia telah dikandung dan dilahirkan dari Santa Perawan demi kita, demikian pulalah Ia tidak mengindahkan Bunda-Nya yang Perawan demi kita, agar Ia dapat memuliakan Bapa Surgawi-Nya dan melakukan karya-Nya.
Demikianlah perpisahan-Nya dengan Bunda Maria, tetapi ketika di salib Ia berkata, “Sudah selseai.” Saat perpisahan telah berakhir. Dan sebab itu, karena Bunda-Nya telah bergabung dengan-Nya, dan Ia, melihat Bunda-Nya, mengenalinya kembali. Waktunya telah tiba, dan Ia berkata kepadanya tentang St Yohanes, “Perempuan, inilah anakmu!” dan kepada St. Yohanes, “Inilah ibum!”
Dan sekarang, saudara-saudaraku, sebagai kesimpulan aku hanya akan mengatakan satu hal. Aku tidak ingin kata-kata kalian melebihi perasaan kalian yang sesungguhnya. Aku tidak menghendaki kalian mengambil buku-buku berisi puji-pujian kepada Santa Perawan dan mempergunakannya serta menirunya dengan tergesa tanpa merenungkannya. Melainkan, yakinlah akan hal ini, yaitu apabila kalian tidak dapat masuk ke dalam kehangatan buku-buku devosi asing itu, hal itu akan merupakan kelemahan bagimu. Menggunakan kata-kata yang kuat tidak berarti akan menyelesaikan masalah; hal ini merupakan suatu kesalahan yang hanya akan dapat diatasi secara perlahan-lahan, tetapi tetap merupakan suatu kelemahan. Bergantunglah pada cara kalian masuk ke dalam sengsara Putra yang adalah dengan masuk ke dalam sengsara Bunda. Tempatkanlah dirimu di bawah kaki salib, pandanglah Bunda Maria yang berdiri di sana, menengadah ke salib dan dengan jiwanya ditembusi pedang. Bayangkanlah perasaan-perasaan hatinya, jadikan itu perasaan hatimu. Jadikan ia teladanmu yang istimewa. Rasakanlah apa yang ia rasakan dan kalian akan dengan layak menangisi sengsara dan wafat Juruselamatmu dan Juruselamatnya. Teladanilah imannya yang bersahaja dan kalian akan percaya dengan baik. Berdoalah agar dipenuhi rahmat seperti yang dianugerahkan kepadanya. Sayang sekali, kalian pasti akan merasakan banyak perasaan seperti yang tak dimilikinya, perasaan atas dosa pribadi, atas penderitaan pribadi, atas tobat, atas penyangkalan diri, tetapi hal-hal ini dalam diri seorang berdosa pada umumnya akan disertai dengan iman, kerendahan hati, kesahajaan yang adalah perhiasannya yang utama. Menangislah bersama Bunda Maria, berimanlah bersamanya, dan pada akhirnya engkau akan mengalami kebahagiaannya seperti yang dimaksud dalam ayat Kitab Suci. Tak seorang pun sungguh-sungguh dapat memperoleh hak istimewanya yang khusus dengan menjadi Bunda Yang Mahatinggi, tetapi kalian akan ikut ambil bagian dalam kebahagiaanya yang lebih besar, yaitu kebahagiaan dalam melaksanakan kehendak Allah dan mentaati perintah-perintah-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar