SELAMAT DATANG di BLOG MIKPa (Media Informasi dan Komunikasi Paroki) Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus Baturaja

Kamis, 21 Mei 2020

MIKPa Edisi: No.042/Th.I/19-25 Nov 2005

Paham Perkawinan

menurut  

Kitab Hukum Kanonik 1983

Bagian Ketiga ( Terakhir )


b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus

Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:

(1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)

(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)

(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)

(4) Penipuan (Kan. 1098)

(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental  perkawinan  (Kan. 1099)

(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)

(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)

(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)

6.3. Dirayakan dalam “forma canonika” (Kan. 1108-1123)

Forma canonica” atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.

7. PERKAWINAN  CAMPUR  (Kan  1124-1129; 1086)

7.1. Pengertian

Perkawinan campur, yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.

Keyakinan Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang sudah diteguhkan secar sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan apapun jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.

7.2. Dua Jenis Perkawinan Campur

Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.

Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.

7.3. Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi

Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

(1) Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.

(2) Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

7.4. Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 $ 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Tetapi justru ini dilarang Kan. 1127 $ 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

1. Dalam Pernikahan Beda Gereja

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

2. Dalam Pernikahan Beda Agama

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

7.5. Pastoral Kawin Campur

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

7.6. Kesulitan Pencatatan Sipil

Berlakunya UU perkawinan 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendaptkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.

7.7. Beberapa Catatan dan Harapan

Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada pribadi. Perlu senantiasa mengusahakan berbagai hal yang menyatukan. De fakto dalam perkawinan campur ada perbedaan, namun membicarakan perbedaan tidaklah berguna bahkan menimbulkan kerenggangan. Senantiasa yakin akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan.

* Previlegi Paulinum (Kan. 1143-1147; 1150). Untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan memakai Previlegi Paulinum demi iman pihak yang dibaptis, prinsip dasarnya ialah:

a). Pada awalnya perkawinan itu dilangsungkan oleh dua orang yang tidak dibaptis;

b). Kemudian salah satu pihak dibaptis;

c). pihak non-baptis tidak lagi ingin hidup bersama atau pergi;

d). demi sahnya perkawinan baru dari pihak baptis, maka pihak non-baptis itu diinterpelasi tentang apakah ia juga mau dibaptis, apakah ia masih mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis secara damai. Jika dirasa interpelasi tidak berguna, maka ordinaries wilayah dapat memberi dispensasi.

** Tidak termuat dalam KHK tapi dalam “Instruksi Ut Notum Est” untuk Pemutusan Perkawinan demi Iman. Previlegi Iman ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “bahwa perkawinan yang diteguhkan antara pihak baptis non-Katolik dengan pihak non-baptis, atau antara pihak Katolik dengan pihak non-baptis yang diteguhkan dengan dispensasi dari halangan perkawinan beda agama (disparitas cultus), dapat diputus oleh tahta suci karena alasan yang kuat terutama demi iman”.

Baca versi lengkapnya (document Word)………>>>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar